Jadi Muslimah tangguh? Siapa Takut.
oleh : Dewi Anurika
Jika berbicara perkembangan zaman semakin pesat dengan teknologinya. Hal ini berkaitan dengan generasi millennial yang membersamai zaman ini. Istilah bahasa millennials pertama kali diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Namun, para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir. Penggolongan generasi Y terbentuk bagi mereka yang lahir pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000, dan seterusnya.[1]
Berbagai macam alat diciptakan untuk dapat memudahkan segala
urusan. Gawai menjadi pegangan wajib sehari-hari, bukan menjadi lagi barang
mewah namun menjadi barang kebutuhan.
Menjelalajah dunia maya merupakan kegiatan wajib sehari-hari generasi millennial.
Hal ini mempengaruhi aktivitas kehidupan, generasi millennial menghabiskan
hampir 3 jam selama sehari didepan gawai, dan terus meningkat setiap tahunnya.
Setiap
orang melakukan sebagian persen urusan lewat gawai atau yang sejenisnya. Termasuk
muslimah yang termasuk usia generasi millennial. Media sosial memang dapat
menjangkau sillaturrahim dengan kerabat jauh. Namun disamping itu Lekat dengan
dunia maya, memiliki pengetahuan tinggi dalam menggunakan platform dan
perangkat mobile, ternyata melahirkan titik lemah bagi para generasi internet.
Syahrul Azmi,
praktisi dan fasilitator pengembangan diri yang berasal dari Malaysia
mengatakan bahwa “Pertumbuhan yang luput
diperhatikan adalah pertumbuhan sebagai manusia. Itu penting karena orang
terlalu bergantung pada teknologi,
bergantung pada teknologi memang tak bisa dihindari. Tapi bukan berarti
manusia mengesampingkan sisi manusiawi, sisi emosional, dan sosial. Teknologi
menurut Syahrul bisa menjadi blokir antarmanusia jika hanya punya tujuan mau
terhubung karena gampang.
Penting menyiapkan diri untuk bisa
menghadapi bagaimana zaman berkembang, memahami teknologi, tapi paling penting
adalah menyiapkan diri menghadapi era digital. “Bukan dari menguasai teknologi
tapi bagaimana menghandle diri sendiri saat
berasa di masa yang berkembang sangat cepat,”.[2]
Menghandle diri sendiri tentu tidak gampang,
melihat arus perkembangan zaman yang
begitu deras. Jadi bagaimana kita dapat menghandle hal negative yang telah
disebutkan sebagai muslimah. Mengapa hanya untuk muslimah? Tidak anak-anak,
orangtua, atau kakek-nenek yang sudah lanjut usia?. Jawabannya adalah bagaimana
keadaan peradaban atau generasi yang akan datang ditentukan oleh Muslimah,
calon Ibu, calon pendidik generasi bangsa, penerus bangsa. Dimana Ibu akan
menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, dimana seorang muslimah yang juga
merupakan calon seorang ibu yang akan mendidik dan membentuk karakter penerus
bangsa. Kita tidak lagi berbicara muslimah yang hanya cukup dan berakhir
mengurus rumah tangga, tapi kita berbicara muslimah sebagai ujung tombak terbentuknya
peradaban yang gemilang, kita berbicara mimpi yang lebih besar.
Ada dua hal yang dapat dilakukan muslimah
dimasa sekarang maupun masa yang akan datang, dapat dilakukan oleh siapapun,
kapanpun, bagaimanapun. Pertama, yang dapat dilakukan muslimah adalah upgrade
kapasitas diri. Dimana muslimah senantiasa menambah dirinya, menghias dirinya,
dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, terutama ilmu agama. Tentu kita tahu jika
sebuah aplikasi di-upgrade, maka akan lebih tinggi kinerja dan keunnggulannya,
itu aplikasi yang merupakan buatan manusia yang terbatas. Kita, muslimah adalah
ciptaannya yang sangat sempurna, maka tentu apabila senantiasa menambah
kapasitas keilmuannya maka akan semakin cerdsalah ia, semakin terbuka lebar
hal-hal positif, semakin banyak hal-hal yang dapat dilakukan, bukan hanya untuk
diri sendiri, tapi juga untuk orang lain.
Kedua, lakukanlah apapun apa yang disukai,
apapun dengan batasan peraturan Allah dan Rasul-Nya, dengan prinsip “kami
adalah seorang da’i, sebelum menjadi apapun itu”. Maksudnya adalah, jadilah
apapun yang inginkan, gapailah apapun yang ingin dicapai, lakukan apapun yang
disukai. Bisa menulis, traveling, memasak, atau berbisnis, apapun. Tetapi
jadikan apa-apa yang dilakukan berorieantasi pada dakwah, menegakkan syari’at Allah.
Sehingga apapun yang kita lakukan, yang tadinya memiliki nilai satu, berubah
menjadi NOL ketika nafas sudah tak berhembus lagi. Apapun yang kita lakukan
akan benilai satu, akan bernilai dimata Allah ketika berorientasi pada dakwah.
Mengapa harus berorientasi pada apa yang
disyari’atkan oleh Allah?. Karena hal ini tidak lain adalah yang akan menjadi
solusi , bagaimanapun kondisi dan situasi. Bagaimanapun perkembangan zaman ini
berlanjut, Allah telah menyempurnakan syari’atnya, semua hal negative yang
datang akibat efek perkembangan zaman akan teratasi.
Dua hal itu hal yang paling sederhana yang
bisa dilakukan oleh seorang muslimah. Siapapun bisa melakukannya, hal itu
mungkin tidak bisa menjamin semua hal negative dapat hilang dimata manusia,
tapi secara tidak langsung, hal itu akan mempengaruhi ruang sekitar sedikit
demi sedikit, membuat pribadi diri sendiri dan orang lain. Semua hal besar
dimulai dari hal kecil yang bermanfaat.
[1]
Kominfo.go.id
[2]
Tempo.co
x
Posting Komentar
0 Komentar